ASUHAN
KEPERAWATAN LANSIA DENGAN GANGGUAN NEUROLOGIS
“STROKE”
A. PENGERTIAN
STROKE
·
Stroke atau Cerebro Vasculer Accident
(CVA) adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai
darah ke bagian otak ( Brunner dan Suddarth, 2002 : hal. 2131 ).
·
Stroke adalah deficit neurologis akut
yang disebabkan oleh gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak dengan
tanda dan gejala sesuai dengan daerah fokal otak yang terkena (WHO, 1989).
·
Stroke atau cedera serebrovaskuler attack
( CVA) adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai
darah ke bagian otak (Brunner and Suddarth, 2001). Stroke adalah sindrom klinis
yang awal timbulnya mendadak yang berlangsung 24 jam atau lebih atau
menimbulkan kematian dan semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah
otak non traumatik (Mansjoer, 2000)
B. KLASIFIKASI
STROKE
Berdasarkan
proses patologi dan gejala klinisnya stroke dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Stroke
Hemoragik
Terjadi
perdarahan cerebral dan mungkin juga perdarahan subarachnoid yang disebabkan
pecahnya pembuluh darah otak. Umumnya terjadi pada saat melakukan aktifitas,
namun juga dapat terjadi pada saat istirahat. Kesadaran umumnya menurun dan
penyebab yang paling banyak adalah akibat hipertensi yang tidak terkontrol.
Dua jenis
stroke hemoragik :
Perdarahan
intraserebral. Perdarahan intraserebral adalah perdarahan di dalam
otak yang disebabkan oleh trauma (cedera otak) atau kelainan pembuluh darah
(aneurisma atau angioma). Jika tidak disebabkan oleh salah satu kondisi
tersebut, paling sering disebabkan oleh tekanan darah tinggi kronis.
Perdarahan intraserebral menyumbang sekitar 10% dari semua stroke, tetapi
memiliki persentase tertinggi penyebab kematian akibat stroke.
Perdarahan
subarachnoid. Perdarahan subarachnoid adalah perdarahan dalam ruang
subarachnoid, ruang di antara lapisan dalam (Pia mater) dan lapisan tengah
(arachnoid mater) dari jaringan selaput otak (meninges). Penyebab paling umum
adalah pecahnya tonjolan (aneurisma) dalam arteri. Perdarahan subarachnoid
adalah kedaruratan medis serius yang dapat menyebabkan cacat permanen atau
kematian. Stroke ini juga satu-satunya jenis stroke yang lebih sering terjadi
pada wanita dibandingkan pada pria.
2. Stroke Non
Hemoragik
Dapat berupa
iskemia, emboli, spasme ataupun thrombus pembuluh darah otak, umumnya terjadi
setelah beristirahat cukup lama atau bangun tidur. Tidak terjadi perdarahan,
kesadaran umumnya baik dan terjadi proses edema otak oleh karena hipoksia
jaringan otak. Stroke non hemoragik dapat juga diklasifikasikan berdasarkan
perjalanan penyakitnya, yaitu :
·
TIA (Trans Ischemic Attack)
Gangguan
neurologist yang timbul mendadak dan hilang dalam beberapa menit (durasi
rata-rata 10 menit) atau beberapa jam saja, dan gejala akan hilang
sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.
·
Rind (Reversible Ischemic Neurologis
Defict)
Gangguan
neurologist setempat yang akan hilang secara sempurna dalam waktu 1 minggu dan
maksimal 3 minggu.
·
Stroke in Volution atau Progresif
Stroke yang terjadi masih terus
berkembang dimana gangguan yang muncul semakin berat dan bertambah buruk.
Proses ini biasanya berjalan dalam beberapa jam atau beberapa hari.
·
Stroke Complete
Gangguan
neurologist yang timbul bersifat menetap atau permanent, maksimal sejak awal
serangan dan sedikit memperlihatkan parbaikan dapat didahului dengan TIA yang
berulang.
C. ETIOLOGI
1) Trombosis
(penyakit trombo – oklusif)
Merupakan penyebab stroke yang
paling sering. Arteriosclerosis selebral dan perlambatan sirkulasi serebral
adalah penyebab utama trombosis selebral, yang merupakan penyebab umum dari
stroke. Tanda-tanda trombosis selebral bervariasi. Sakit kepala adalah awitan
yang tidak umum. Beberapa pasien mengalami pusing, perubahan kognitif atau
kejang dan beberapa awitan umum lainnya. Secara umum trombosis selebral tidak
terjadi secara tiba-tiba, dan kehilangan bicara sementara, hemiplegia atau
parestesia pada setengah tubuh dapat mendahului awitan paralysis berat pada
beberapa jam atau hari.
Trombosis terjadi biasanya ada
kaitannya dengan kerusakan local dinding pembuluh darah akibat atrosklerosis.
Proses aterosklerosis ditandai oleh plak berlemak pada pada lapisan intima
arteria besar. Bagian intima arteria sereberi menjadi tipis dan berserabut,
sedangkan sel – sel ototnya menghilang. Lamina elastika interna robek dan
berjumbai, sehingga lumen pembuluh sebagian terisi oleh materi sklerotik
tersebut. Plak cenderung terbentuk pada percabangan atau tempat – tempat yang
melengkung. Trombi juga dikaitkan dengan tempat – tempat khusus tersebut.
Pembuluh – pembuluh darah yang mempunyai resiko dalam urutan yang makin jarang
adalah sebagai berikut : arteria karotis interna, vertebralis bagian atas dan basilaris
bawah. Hilangnya intima akan membuat jaringan ikat terpapar. Trombosit menempel
pada permukaan yang terbuka sehingga permukaan dinding pembuluh darah menjadi
kasar. Trombosit akan melepasakan enzim, adenosin difosfat yang mengawali
mekanisme koagulasi. Sumbat fibrinotrombosit dapat terlepas dan membentuk
emboli, atau dapat tetap tinggal di tempat dan akhirnya seluruh arteria itu
akan tersumbat dengan sempurna.
2) Embolisme serebral
Embolisme serebral (bekuan darah
atau material lain yang dibawa ke otak dari bagian tubuh yang lain).
Abnormalitas patologik pada jantung kiri, seperti endocarditis infektif,
penyakit jantung reumatik, dan infark miokard, serta infeksi pulmonal,
adalah tempat-tempat asal emboli. Embolus biasanya menyumbat arteriserebral tengah,
atau cabang-cabangnya yang merusak sirkulasi serebral.
Embolisme sereberal termasuk urutan
kedua dari berbagai penyebab utama stroke. Penderita embolisme biasanya lebih
muda dibanding dengan penderita trombosis. Kebanyakan emboli sereberi berasal dari
suatu trombus dalam jantung, sehingga masalah yang dihadapi sebenarnya adalah
perwujudan dari penyakit jantung. Meskipun lebih jarang terjadi, embolus juga
mungkin berasal dari plak ateromatosa sinus karotikus atau arteria karotis
interna. Setiap bagian otak dapat mengalami embolisme, tetapi embolus biasanya
embolus akan menyumbat bagian – bagian yang sempit. tempat yang paling sering
terserang embolus sereberi adalah arteria sereberi media, terutama bagian atas.
3) Iskemia
serebral
Iskemia serebral (insufisiensi
suplai darah ke otak) terutama karena konstriksi atheroma pada arteri yang
menyuplai darah ke otak.
4) Perdarahan
serebral.
Perdarahan
serebri termasuk urutan ketiga dari semua penyebab utama kasus GPDO (Gangguan
Pembuluh Darah Otak) dan merupakan sepersepuluh dari semua kasus penyakit ini.
Perdarahan intrakranial biasanya disebabkan oleh ruptura arteri serebri.
Ekstravasasi darah terjadi di daerah otak dan /atau subaraknoid, sehingga
jaringan yang terletak di dekatnya akan tergeser dan tertekan. Darah ini sangat
mengiritasi jaringan otak, sehingga mengakibatkan vasospasme pada arteria di
sekitar perdarahan. Spasme ini dapat menyebar ke seluruh hemisper otak dan
sirkulus wilisi. Bekuan darah yang semula lunak menyerupai selai merah akhirnya
akan larut dan mengecil. Dipandang dari sudut histologis otak yang terletak di
sekitar tempat bekuan dapat membengkak dan mengalami nekrosis. Karena kerja
enzim–enzim akan terjadi proses pencairan, sehingga terbentuk suatu rongga.
Sesudah beberapa bulan semua jaringan nekrotik akan terganti oleh astrosit dan
kapiler–kapiler baru sehingga terbentuk jalinan di sekitar rongga tadi.
Akhirnya rongga terisi oleh serabut–serabut astroglia yang mengalami
proliferasi. Perdarahan subaraknoid sering dikaitkan dengan pecahnya suatu
aneurisme. Kebanyakan aneurisme mengenai sirkulus wilisi. Hipertensi atau
gangguan perdarahan mempermudah kemungkinan ruptur. Sering terdapat lebih dari
satu aneurisme.
Perdarahan
serebral termasuk urutan ketiga dari semua penyebab utama kasus gangguan
pembuluh darah otak. Perdarahan serebral dapat terjadi di luar duramater
(hemoragi ekstradural atau epidural), dibawah duramater, (hemoragik subdural),
diruang subarachnoid (hemoragi subarachnoid) atau di dalam substansi otak
(hemoragi intraserebral).
1.
Hemoragi ekstradural (epidural) adalah kedaruratan
bedah neuro yang memerlukan perawatan segera. Ini biasanya mengikuti fraktur
tengkorak dengan robekan arteri dengan arteri meningea lain.
2.
Hemoragi subdural (termasuk hemoragi subdural akut)
pada dasarnya sama dengan hemoragi epidural, kecuali bahwa hematoma subdural
biasanya jembatan vena robek. Karenanya, periode pembentukan hematoma lebih
lama ( intervensi jelas lebih lama) dan menyebabkan tekanan pada otak. Beberapa
pasien mungkin mengalami hemoragi subdural kronik tanpa menunjukkan tanda dan
gejala.
3.
Hemoragi subarachnoid dapat terjadi sebagai akibat
trauma atau hipertensi, tetapi penyebab paling sering adalah kebocoran
aneurisma pada area sirkulus wilisi dan malformasi arteri-vena kongenital pada
otak. Arteri di dalam otak dapat menjadi tempat aneurisma.
4.
Hemoragi intraserebral paling umum pada pasien dengan
hipertensi dan aterosklerosis serebral, karena perubahan degeneratif penyakit
ini biasanya menyebabkan ruptur pembuluh darah. Pada orang yang lebih muda dari
40 tahun, hemoragi intraserebral biasanya disebabkan oleh malformasi
arteri-vena, hemangioblastoma dan trauma, juga disebabkan oleh tipe patologi
arteri tertentu, adanya tumor otak dan penggunaan medikasi (antikoagulan oral,
amfetamin dan berbagai obat aditif).
Perdarahan
biasanya arterial dan terjadi terutama sekitar basal ganglia. Biasanya awitan
tiba-tiba dengan sakit kepala berat. Bila hemoragi membesar, makin jelas
defisit neurologik yang terjadi dalam bentuk penurunan kesadaran dan abnormalitas
pada tanda vital. Pasien dengan perdarahan luas dan hemoragi mengalami
penurunan kesadaran dan abnormalitas pada tanda vital.
D. PATOFISIOLOGI
1.
Stroke Non Hemoragik
Iskemia
disebabkan oleh adanya penyumbatan aliran darah otak oleh thrombus atau embolus.
Trombus umumnya terjadi karena berkembangnya aterosklerosis pada dinding
pembuluh darah, sehingga arteri menjadi tersumbat, aliran darah ke area
thrombus menjadi berkurang, menyebabkan iskemia kemudian menjadi kompleks
iskemia akhirnya terjadi infark pada jaringan otak. Emboli disebabkan oleh
embolus yang berjalan menuju arteri serebral melalui arteri karotis. Terjadinya
blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia yang tiba-tiba berkembang cepat
dan terjadi gangguan neurologist fokal. Perdarahan otak dapat disebabkan oleh
pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli.
2.
Stroke Hemoragik.
Pembuluh
darah otak yang pecah menyebabkan darah mengalir ke substansi atau ruangan
subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intracranial yang seharusnya
konstan. Adanya perubahan komponen intracranial yang tidak dapat dikompensasi
tubuh akan menimbulkan peningkatan TIK yang bila berlanjut akan menyebabkan
herniasi otak sehingga timbul kematian. Di samping itu, darah yang mengalir ke
substansi otak atau ruang subarachnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh
darah otak dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah
berkurang atau tidak ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak.
E. FAKTOR
RESIKO
Ada beberapa
factor risiko stroke yang sering teridentifikasi, yaitu ;
1.
Hipertensi,
dapat
disebabkan oleh aterosklerosis atau sebaliknya. Proses ini dapat menimbulkan
pecahnya pembuluh darah atau timbulnya thrombus sehingga dapat mengganggu
aliran darah cerebral.
2.
Aneurisma pembuluh darah cerebral
Adanya
kelainan pembuluh darah yakni berupa penebalan pada satu tempat yang diikuti
oleh penipisan di tempat lain. Pada daerah penipisan dengan maneuver tertentu
dapat menimbulkan perdarahan.
3.
Kelainan jantung / penyakit jantung
Paling
banyak dijumpai pada pasien post MCI, atrial fibrilasi dan endokarditis.
Kerusakan kerja jantung akan menurunkan kardiak output dan menurunkan aliran
darah ke otak. Ddisamping itu dapat terjadi proses embolisasi yang bersumber
pada kelainan jantung dan pembuluh darah.
4.
Diabetes mellitus (DM)
Penderita DM
berpotensi mengalami stroke karena 2 alasan, yeitu terjadinya peningkatan
viskositas darah sehingga memperlambat aliran darah khususnya serebral dan
adanya kelainan microvaskuler sehingga berdampak juga terhadap kelainan yang
terjadi pada pembuluh darah serebral.
5.
Usia lanjut
Pada usia
lanjut terjadi proses kalsifikasi pembuluh darah, termasuk pembuluh darah otak.
6.
Polocitemia
Pada
policitemia viskositas darah meningkat dan aliran darah menjadi lambat sehingga
perfusi otak menurun.
7.
Peningkatan kolesterol (lipid total)
Kolesterol
tubuh yang tinggi dapat menyebabkan aterosklerosis dan terbentuknya embolus
dari lemak.
8. Obesitas
Pada
obesitas dapat terjadi hipertensi dan peningkatan kadar kolesterol sehingga
dapat mengakibatkan gangguan pada pembuluh darah, salah satunya pembuluh drah
otak.
9. Perokok
Pada perokok
akan timbul plaque pada pembuluh darah oleh nikotin sehingga terjadi
aterosklerosis.
10. kurang
aktivitas fisik
Kurang
aktivitas fisik dapat juga mengurangi kelenturan fisik termasuk kelenturan
pembuluh darah (embuluh darah menjadi kaku), salah satunya pembuluh darah otak.
F. MANIFESTASI
KLINIS
1.
Hemiplegia : akibat kerusakan pada area motorik
pada bagian konteks atau pada traktus piramidal. Perdarahan atau bekuan darah
pada otak kanan akan meyebabkan tubuh pada sisi kiri akan mengalami hemiplegia.
Hal ini disebabkan oleh karena serabut saraf bersilang pada traktus piramidal
dari otak menuju ke sumsum tulang belakang, demikian juga pada area kortikal
yang lain yang dapat menyebabkan menianesthesia, apraxia, agnosia,
aphasia.Otot-otot thoraks dan abdomen biasanya tidak mengalami paralisis sebab
dihubungkan kedua hemisper otak. Apabila otot voluntary mengalami gangguan maka
tidak terjadi keseimbangan antara otot rangka fleksi dan ekstensi sehingga
menyebabkan terjadinya deformitas yang serius.
2.
Aphasia ; kerusakan dalam mempergunakan atau
menginterpretasikan simbol-simbol dasn bahasa. Hal ini disebabkan oleh adanya
gangguan pada korteks serebral. Gangguan pada semua aspek berbahasa seperti bercakap,
membaca, menulis dan memahami bahasa yangdiucapkan. Dikenal dua macam aphasia ,
yaitu aphasia sensorik yang berhubungan dengan pemahaman bahasa, dan aphasia
motorik yang berhubungan dengan produk bercakap-cakap. Aphasia sensorik
termasuk kehilangan kemampuan pemahaman menulis, menciptakan atau mengucapkan
kata-kata, misalnya klien tidak dapat memahami apa yang dibicarakan. Mendengar
bunyi, tetapi tidak mengetahui komunikasi simbolik yang berhubungan dengan
suara. Aphasia motorik, dimana klien dapat memahami kata-kata, tetapi tidak
dapat menguraikan dengan kata-kata.Aphasia disebabkan oleh adanya lesi
patologis yang berhubungan dengan lokasi tertentu pada korteks. Penyebab
utamanya adalah gangguan suplai darah ke otak terutama yang berhubungan dengan
pembuluh darah. Middle cerebral artery.
3.
Apraxia : Kondisi dimana klien dapat bergerak
pada bagian tubuh yang mengalami gangguan tetapi tidak berfungsi dengan baik,
misalnya berjalan, berbicara, berpakaian, dimana bagian yang mengalami
paralisis tidak dapat dikoordinasikan.
Visual
Change : Adanya lesi pada lobus parietal dan temporal sebagai akibat perdarahan
intraserebral karena terjadinya ruptur dari arterisclerosis atau hipertsnsi
pembuluh darah. Lesi pada bagian otak akan meyebabkan kerusakan bagian yang
berlawanan pada penglihatan. Penurunan kemampuan penglihatan sering berhubungan
dengan hemiplegia.
Agnosia : Gangguan
menginterpretasikan objek, misalnya penglihatan, taktil, atau informasi
sensorik lainnya. Klien tidak dapat mengenal objek. Agnosia bisa visual,
pendengaran, atau taktil tetapi tidak sama dengan kebutaan, tuli atau
kehilangan rasa. Kehilangan sensasi misalnya tidak sadar pada posisi lengan,
tidak merasakan adanya bagian tubuh tertentu. Klien dengan agnosia penglihatan,
dia melihat objek tetapi tidak mengenal atau atau tidak dapat memberi arti pada
objek.
4.
Dysarthria : Artikulasi yang tidak sempurna yang
menyebabkan kesulitan berbicara. Klien mengenal bahasa tetapi kesulitan
mengucapkan kata-kata. Tidak ada gangguan dalam tata bahasa atau ungkapan atau
konstruksi kata. Klien dapat berkomunikasi secara verbal walaupun mengalami
angguan, membaca atau menulis. Kondisi ini disebabkan akibat disfungsi saraf
kranial menyebabkan kelemahan atau paralisis otot sekitar bibir, lidah dan
larynx.
5.
Kinesthesia : gangguan sensasi yang terjadi pada
satu sisi tubuh, berupa :
1.
Hemianesthesia : Kehilangan asensasi.
2.
Paresthesia: Kehilangan sensasi pada otot sendi.
3.
Inkontinen : Inkontinen urin dan defekasi dapat
terjadi, sebagai akibat :
1.
kurangnya perhatian.
2.
kehilangan memori
3.
faktor emosi.
4.
tidak mampu berkomunikasi.
4.
Nyeri pada bahu : Terjadi sebagai akibat hambatan
mobilitas serta overstreching otot bahu,
serta gerakan yang tidak tepat serta kehilangan ROM (range of motion).
5. Horner’s
Syndrome : paralisis saraf simpatis pada bagian mata menyebabkan tenggelamnya
bola mata sebagai akibat ptosis kelopak mata atas dan peningkatan kelopak mata
bawah, konstriksi pupil, dan berkurangnya air mata.
6. Gangguan
emosional ; setelah menderita stroke mengakibatkan emosi klien labil,
kebingungan, gangguan memori dan frustrasi : social withdrawal terutama
aphasia, gangguan perilaku seksual, regresi, dan marah.
Secara umum manifestasi klinik dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1) Gangguan
fungsi neuromotorik : Penurunan fungsi motorik sangat sering dijumpai pada
pasien stroke. Masalah yang berhubungan dengan fungsi neruromotorik yaitu
mobilitas, fungsi pernafasan, fungsi menelan dan bicara, refleks muntah dan
kemampuan rawat diri. Terjadinya hal tersebut sebagai akibat adanya kerusakan
saraf motorik pada jalur pramidal ( serabut saraf dari otak dan melalui
sumsum tulang belakang menuju ke sel motorik). Karakteristik penurunan motorik
termasuk kehilangan kemampuan gerakan voluntary (akinesia), hambatan integrasi
gerakan, gangguan tonus otot, dan gangguan refleks.Oleh karena jalur paramidal
bersilang pada tingkat medulla, sehingga bioa lesi terjadi pada salah satu sisi
pada otak akan mempengaruhi fungsi motorik pada sisi berlawanan
(contralateral). Lengan dan tungkai akan mengalami kelemahan. Apabila gangguan
pada middle cerebral artery, maka kelemahan pada ekstremitas atas
lebih keras daripada ekstremitas bawah.
2) Gangguan
komunikasi : Hemisfer kiri lebih dominan untuk keterampilan berbahasa. Gangguan
berbahasa termasuk kemampuan mengekspresikan dan pemahaman tulisan dan
mengucapkan kata-kata. Pasien dapat mengalami aphasia (kehilangan secara total
kemampuan pemahaman dan penggunaan berbahasa). Dysphasia diartikanadanya
disfungsi sehubungan dengan kemampuan pemahaman dan penggunaan bahasa.
Dysphasia dapat diklasifikasikan berupa Nonfluent ( berkurangnya aktifitas
berbicara dengan bicara yang lambat) atau fluent (bisa berbicara, tetapi hanya
mengadung sedikit makna komunikasi). Pada stroke yang hebat akan
menyebabkan terjadinya global aphasia, dimana semua fungsi
komunikasi dan penerimaan menjadi hilang. Stroke pada area Wernicke pada otak
akan menunjukkan gejala aphasia receptive dimana tidak terdengar suara atau
sukar dimengerti. Kerusakan area wernicke akan menyebabkan hambatan pemahaman
baik dalam berbicara maupun bahasa tulisan. Stroke yang berhubungan dengan area
Broca pada otak akan menyebabkan expressive phasia (kesulitan dalam berbicara
dan menulis). Banyak juga stroke menyebabkan dyssarthria yaitu
gangguan/hambatan pada otot bicara. Pasien mengalami hambatan dalam mengucapan,
artikulasi, dan bunyi suara. Kadang-kadang ada pasien mengalami keduanya yaitu
aphasia dan dysarthria.
3) Emosi/perasaan
: Pasien yang mengalami stroke mungkin tidak dapat mengontrol
perasaannya. Hal ini mungkin terjadi sebagai akibat adanya perubahan
dalam citra tubuh dan kehilangan fungsi motorik. Pasien akan mengalami depresi
dan frustrasi sehubungan dengan masalah mobilitas dan dan
komunikasi. Misalnya pada saat waktu makan pasien menangis karena mengalami
kesulitan memasukkan makanan kedalam mulutnya, kehilangan kemampuan mengunyah
dan menelan.
4) Gangguan
fungsi intelektual : Daya ingat dan kemampuan pengambilan keputusan dapat
mengalami gangguan sebagai akibat stroke. Stroke pada otak kiri
menyebabkan masalah gangguan ingatan sehubungan dengan berbahasa. Pasien dengan
stroke pada otak kanan sangat sulit dalam daya ingat dan kemampuan pengambilan
keputusan., milsanya pada saat pasien berdiri dari kursi roda tanpa mengunci
kursi rodanya sehingga dapat berbahaya bagi dirinya.
G.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIC
Pemeriksaan penunjang diagnostik
yang dapat dilakukan adalah :
1.
Laboratorium: mengarah pada pemeriksaan darah lengkap,
elektrolit, kolesterol, dan bila perlu analisa gas darah, gula darah dsb.
2.
Sinar X tengkorak untuk menggambarkan perubahan
kelenjar korpengpineal daerah yang berlawanan dari masa yang luas.
3.
Ultrasonografi doppler untuk mengidentifikasi penyakit
arteriovena (masalah sistem arteri karotis aliran darah dan atau muncul plak)
atau arteriosklerotik.
4.
EEG (Electroencephalography) untuk
mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan mungkin
memperlihatkan darah lesi yang spesifik.
5.
CT scan kepala untuk mengetahui lokasi dan luasnya
perdarahan atau infark.
6.
MRI (Magnetic Resonance Imaging) untuk
mengetahui adanya edema, infark, hematom dan bergesernya struktur otak
7.
Angiografi untuk mengetahui penyebab dan gambaran yang
jelas mengenai pembuluh darah yang terganggu secara spesifik.
H. PENCEGAHAN
Pencegahan
utama untuk menghindari risiko adalah pendidikan kesehatan masyarakat.
Mempertahankan berat badan dan kolesterol dalam batas normal, dan menghindari
merokok atau tidak menggunakan oral kontrasepsi. Pengobatan/mengontrol
diabetes, hipertensi dan penyakit jantung. Memberikan informasi kepada klien
sehubungan dengan penyakit yang diderita dengan stroke. Apabila sudah terserang
stroke, dalam situasi ini tujuan adalah mencegah terjadinya komplikasi
sehubungan dengan stroke dan infark yang lebih luas pada masa yang akan datang.
Apabila terjadi immobilitas akan meningkatkan risiko injury sehubungan dengan
paralisis dan aspirasi pada jalan nafas. Pencegahan lebih lanjut yaitu
memonitoring faktor risiko yang dapat diidentifikasi.
I.
KOMPLIKASI
Menurut
Smeltzer (2001), komplikasi yang terjadi pada pasien stroke yaitu :
1)
Hipoksia serebral
Diminimalakan
dengan memberikan oksigenasi darah adekuat ke otak. Fungsi otak tergantung pada
ketersediaan O2 yang dikirimkan ke jaringan. Pemberian O2 suplemen dan
mempertahankan hemoglobin dan hematokrit pada tingkat dapat diterima akan
membantu dalam mempertahankan hemoglobin dan hematrokit pada tingkat dapat
diterima akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan adekuat.
2)
Aliran darah serebral
Bergantung
pada tekanan darah, curah jantung, dan intregitas pembuluh darah serebral.
Hidrasi adekuat ( cairan intravena) harus menjamin penurunan vikosis darah dan
memperbaiki aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.
3) Embolisme
serebral
Dapat terjadi
setelah infark miokard / fibrilasi atrium / dapat berasal dari katup jantung
protestik. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya
menurunkan aliran darah serebral. Disritmia dapat mengakibtakan curah jantung
tidak konsisten dan penghentian trombul lokal. Selain itu disritmia dapat
menyebabkan embolus serebral dan harus diperbaiki.
J. PENATALAKSANAAN
Secara umum,
penatalaksanaan pada pasien stroke adalah :
1.
Posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat, posisi
miring jika muntah dan boleh dimulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika
stabil.
2.
Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang
adekuat, bila perlu diberikan ogsigen sesuai kebutuhan
3.
Tanda-tanda vital diusahakan stabil
4.
Bed rest
5.
Koreksi adanya hiperglikemia atau hipoglikemia
6.
Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
7.
Kandung kemih yang penuh dikosongkan, bila perlu
lakukan kateterisasi
8.
Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau
koloid dan hindari penggunaan glukosa murni atau cairan hipotonik
9.
Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau suction
berlebih yang dapat meningkatkan TIK
10. Nutrisi per
oral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. Jika kesadaran menurun atau ada
gangguan menelan sebaiknya dipasang NGT.
Perawatan
umum stroke
Mengenai penatalaksanaan umum
stroke, konsensus nasional pengelolaan stroke di Indonesia, mengemukakan
hal-hal berikut:
Bebaskan jalan nafas dan usahakan
ventilasi adekuat, bila perlu berikan oksigen 0-2 L/menit sampai ada hasil gas
darah.
Kandung kemih yang penuh
dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi intermiten.
Penatalaksanaan tekanan darah
dilakukan secara khusus. Tekanan darah dapat berkurang bila penderita
dipindahkan ke tempat yang tenang, kandung kemih dikosongkan, rasa nyeri
dihilangkan, dan bila penderita dibiarkan beristirahat.
Hiperglikemia
atau hipoglikemia harus dikoreksi. Keadaan hiperglikemia dapat dijumpai
pada fase akut stroke, disebabkan oleh stres dan peningkatan kadar katekholamin
di dalam serum. Dari percobaan pada hewan dan pengalaman klinik diketahui bahwa
kadar glukosa darah yang meningkat memperbesar ukuran infark. Oleh karena itu,
kadar glukosa yang melebihi 200 mg/ dl harus diturunkan dengan pemberian
suntikan subkutan insulin. Konsensus nasional pengelolaan stroke di
Indonesia mengemukakan bahwa hiperglikemia ( >250 mg% ) harus dikoreksi
sampai batas gula darah sewaktu sekitar 150 mg% dengan insulin intravena secara
drips kontinyu selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia harus diatasi segera
dengan memberikan dekstrose 40% intravena sampai normal dan diobati
penyebabnya.
Suhu tubuh harus dipertahankan
normal. Suhu yang meningkat harus dicegah, misalnya dengan obat antipiretik
atau kompres. Pada penderita iskemik otak, penurunan suhu sedikit saja,
misalnya 2-3 derajat celsius, sampai tingkat 33ºC atau 34 °C memberi
perlindungan pada otak. Selain itu, pembentukan oxygen free radicals dapat
meningkat pada keadaan hipertermia. Hipotermia ringan sampai sedang mempunyai
efek baik, selama kurun waktu 2-3 jam sejak stroke terjadi, dengan memperlebar
jendela kesempatan untuk pemberian obat terapeutik.
Nutrisi peroral hanya boleh
diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik, bila terdapat gangguan menelan
atau penderita dengan kesadaran menurun, dianjurkan melalui pipa nasogastrik.
Keseimbangan cairan dan elektrolit
dipertahankan. Pemberian cairan intravena berupa cairan kristaloid atau koloid,
hindari yang mengandung glukosa murni atau hipotonik.
Bila ada dugaan trombosis vena
dalam, diberikan heparin dosis rendah subkutan, bila tidak ada kontra indikasi.
Terapi
farmakologi yang dapat diberikan pada pasien stroke :
1) Antikoagulasi
dapat diberikan pada stroke non haemoragic, diberikan dalam 24 jam sejak serangan gejala-gejala dan diberikan secara
intravena.
2) Obat
antipletelet, obat ini untuk mengurangi pelekatan platelet. Obat ini
kontraindikasi pada stroke haemorhagic.
3) Bloker
kalsium untuk mengobati vasospasme serebral, obat ini merilekskan otot polos
pembuluh darah.
4) Trental
dapat digunakan untuk meningkatkan aliran darah kapiler mikrosirkulasi,
sehingga meningkatkan perfusi dan oksigenasi ke jaringan otak yang mengalami
iskemik.
Terapi
Khusus
Ditujukan untuk stroke pada
therapeutic window dengan obat anti agregasi dan neuroprotektan. Obat anti
agregasi: golongan pentoxifilin, tielopidin, low heparin, tPA.
1)
Pentoxifilin
Mempunyai 3
cara kerja :
·
Sebagai anti agregasi → menghancurkan thrombus
·
Meningkatkan
deformalitas eritrosit
·
Memperbaiki
sirkulasi intraselebral
·
Neuroprotektan
1.
Piracetam: menstabilkan membrane sel neuron, ex:
neotropi
Cara kerja dengan menaikkan cAMP ATP dan meningkatkan sintesis glikogen
Cara kerja dengan menaikkan cAMP ATP dan meningkatkan sintesis glikogen
2.
Nimodipin: gol. Ca blocker yang merintangi masuknya
Ca2+ ke dalam sel, ex.nimotup. Cara kerja dengan merintangi masuknya Ca2+ ke
dalam sel dan memperbaiki perfusi jaringan otak
3.
Citicholin: mencegah kerusakan sel otak, ex. Nicholin
Cara kerja dengan menurunkan free faty acid, menurunkan generasi radikal bebas dan biosintesa lesitin.
Cara kerja dengan menurunkan free faty acid, menurunkan generasi radikal bebas dan biosintesa lesitin.
4.
Ekstrax gingkobiloba, ex ginkan.
Perawatan
Pasca Stroke
1) Rehabilitasi
Stroke
Rehabilitasi
stroke termasuk seluruh tujuan dari rehabilitasi lansia. Pencegahan komplikasi
dan keterbatasan sekunder adalah hasil utama yang diharapkan. Peningkatan
kualitas dan arti dalam hidup dengan keterbatasan dan deficit klien lansia juga
merupakan hal yang penting bagi keberhasilan program rehabilitasi stroke.
Selain
memposisikan klien dan latihan rentang gerak , suatu program rehabilitasi
stroke memfokuskan pada AKS. Aktivitas kehidupan sehari-hari termasuk makan,
berdandan, hygiene, mandi, dan yang sejenisnya. Dengan melibatkan ahli terapi
fisik dan okupasi dapat meningkatkan kemampuan perawat untuk merencanakan
perawatan.
Evaluasi tingkat sensorik motorik , pengukuran rentang gerak sendi , dan
kekuatan otot adalah tujuan spesifik bagi ahli terapi dan perawat. Pemeriksaan
genggaman , kekuatan trisep, dan keseimbangan memberikan data yang berharga untuk
perencanaan strategi kompensasi untuk menyelesaikan tugas tugas perawatan diri.
Propriosepsi, sensasi,dan tonus otot dievaluasi. Suatu pengkajian yang seksama
juga termasuk tingkat deficit neurologis yang mungkin telah di alami oleh klien
akibat stroke. Data tersebut termasuk kemampuan klien untuk mandi, berpakaian,
makan, ke toilet, dan berpindah. Selain itu, status fungsi usus dan kandung
kemih klien adalah informasi yang sangat penting untuk perencanaan perawatan.
Fungsi penglihatan dan pendengaran dikaji dan setiap penyimpangan dimasukkan
dalam pendekatan tim.
Tujuan
utamanya adalah untuk meningkatkan kemandirian klien dengan terus memberikan
peluang untuk melakukan tugas yang mampu ia lakukan. Perawat adalah kunci
pemberi perawatan dalam proses rehabilitasi, mengkoordinasikan asuhan perawatan
dan terapi rehabilitative. Dengan memperhatikan tujuan ini, perawat dapat
memaksimalkan potensi klien tersebut.
2) Kognisi
dan komunikasi
Konfusi,
disorientasi, dan masalah komunikasi adalah akibat yang sering dari stroke. Masalah
komunikasi dapat diakibatkan oleh afasia dan disartria, perawat perlu
menyertakan teknik komunikasi yang memfasilitasi kemampuan klien untuk memahami
kata-kata. Teknik komunikasi tersebut meliputi berbicara secara perlan-lahan,
memberikan petunjuk sederhana(satu pada satu waktu), membatasi distraksi, dan
mendengar secara aktif.Selain itu, menghubungkan kata-kata dengan
objek,menggunakan pengulangan dan kata-kata yang banyak, dan mendorong keluarga
untuk membawa objek kecil yang dikenal oleh klien dan untuk menyebutkan nama
objek-objek tersebut dapat meningkatkan pola komunikasi.Dapat juga digunakan
papan abjad,mesin tik,dan program computer untuk membantu pemahaman klien
tentang lingkungannya. Mengevaluasi penglihatan dan pendengaran dapat juga
membantu mengatasi masalah yang,sekali dapat diperbaiki, secara drastic akan
meningkatkan komunikasi.
3) Dukungan
psikologis
Klien lanjut
usia mengalami berbagai kehilangan berdasar dengan terjadinya stroke, mencakup
perubahan citra tubuh, fungsi tubuh, dan perubahan peran. Dukungan psikologis
diarahkan agar dalam menghadapi kehilangan ini dapat mendorong keberhasilan
adaptasi dan penyesuaian. Tujuan yang realistis dapat ditetapkan hanya setelah
perawat mengkaji gaya hidup klien sebelumnya, tipe kepribadian, perilaku
koping, dan aktivitas pekerjaan. Dengan menyediakan situasi untuk penyelesaian
masalah dan pengambilan keputusan, perawat member klien suatu kesempatan untuk
memperoleh kendali atas lingkungannya. Keadaan seperti itu dapat sederhana seperti
membiarkan klien untuk memilih di antara dua aktivitas, untuk memutuskan waktu
terapi, untuk memilih pakaian, dan untuk membuat pilihan makanan. Memfokuskan
pada kekuatan dan kemampuan klien daripada terhadap deficit dapat mendorong
harapan klien tersebut.
Depresi
sering terjadi dengan terjadinya kehilangan fungsi tubuh dan perubahan peran
dan citra tubuh. Konsultasikan kepada seorang perawat kesehatan mental untuk
membantu mengatasi masalah ini. Klienn lansia mungkin mengalami suatu perasaan
isolasi dan pengasingan. Keluarga mungkin memerlukan dukungan emosional dan
psikologis ketika berusaha untuk memahami apa arti kehilangan bagi klien. Jika
kebutuhan untuk mendapatkan dukungan keluarga ini tidak diperhatikan, klien
mungkin mempertimbangkan untuk bunuh diri.Ajarkan anggota keluarga tentang
depresi dan peringatkan mereka terhadap tanda dan gejala yang penting dalam
memberikan dukungan psikososial.
Kelabilan
emosional dan ledakan-ledakan mungkin terjadi setelah stroke. anggota keluarga
yang telah diajarkan tentang strategi komunikasi dan bagaimana cara bermain
peran dalam situasi yang potensial akan menjadi lebih percaya diri.dalam
merawat klien. merujuk keluarga dan klien pada pelayanan pendukung seperti
pelayanan kesehatan di rumah, Kelompok pendukung, dan respite care dapat
mengurangi beban ketergantungan yang mungkin mengikuti stroke melibatkan
manajemen factor-faktor yang pada akhirnya dapat membuat perbedaan dalam
memelihara kemandirian maksimum dan menurunkan komplikasi sekunder yang dapat
berkembang dari penyakit kronis yang melumpuhkan. (Mickey Stanley, Buku Ajar
Keperawatan gerontik edisi 2. 2006)
Gangguan
emosional, terutama ansietas, frustasi dan depresi merupakan masalah umum yang
dijumpai pada penderita pasca stroke. Korban stroke dapat memperlihatkan
masalah-masalah emosional dan perilakunya mungkin berbeda dari keadaan sebelum
mengalami stroke. Emosinya dapat labil, misalnya pasien mungkin akan menangis
namun pada saat berikutnya tertawa, tanpa sebab yang jelas. Untuk itu, peran
perawat adalah untuk memberikan pemahaman kepada keluarga tentang perubahan
tersebut.
Hal-hal yang
bisa dilakukan perawat antara lain memodifikasi perilaku pasien seperti seperti
mengendalikan simulasi di lingkungan, memberikan waktu istirahat sepanjang
siang hari untuk mencegah pasien dari kelelahan yang berlebihan, memberikan
umpan balik positif untuk perilaku yang dapat diterima atau perilaku yang
positif, serta memberikan pengulangan ketika pasien sedang berusaha untuk
belajar kembali satu ketrampilan.
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
I. PENGKAJIAN
1. Aktivitas
dan istirahat
Data
Subyektif:
-
kesulitan dalam beraktivitas : kelemahan, kehilangan sensasi atau paralysis.
- mudah lelah,
kesulitan istirahat ( nyeri atau kejang otot )
Data
obyektif:
- Perubahan tingkat
kesadaran
-
Perubahan tonus otot ( flaksid atau spastic), paraliysis ( hemiplegia ) ,
kelemahan umum.
-
gangguan penglihatan
2.
Sirkulasi
Data
Subyektif:
-
Riwayat penyakit jantung ( penyakit katup jantung, disritmia, gagal jantung, endokarditis
bacterial ) , polisitemia.
Data
obyektif:
-
Hipertensi arterial
-
Disritmia, perubahan EKG
-
Pulsasi : kemungkinan bervariasi
-
Denyut karotis, femoral dan arteri iliaka atau aorta abdominal
3.
Integritas ego
Data
Subyektif:
-
Perasaan tidak berdaya, hilang harapan
Data
obyektif:
-
Emosi yang labil dan marah yang tidak tepat, kesediahan , kegembiraan
-
kesulitan berekspresi diri
4.
Eliminasi
Data
Subyektif:
-
Inkontinensia, anuria
- distensi abdomen ( kandung kemih
sangat penuh ), tidak adanya suara usus( ileus paralitik )
5.
Makan/ minum
Data
Subyektif:
-
Nafsu makan hilang
-
Nausea / vomitus menandakan adanya PTIK
-
Kehilangan sensasi lidah , pipi , tenggorokan, disfagia
-
Riwayat DM, Peningkatan lemak dalam darah
Data
obyektif:
-
Problem dalam mengunyah ( menurunnya reflek palatum dan faring )
-
Obesitas ( factor resiko )
6.
Sensori neural
Data
Subyektif:
-
Pusing / syncope ( sebelum CVA / sementara selama TIA )
-
nyeri kepala : pada perdarahan intra serebral atau perdarahan sub arachnoid.
-
Kelemahan, kesemutan/kebas, sisi yang terkena terlihat seperti lumpuh/mati
-
Penglihatan berkurang
-
Sentuhan : kehilangan sensor pada sisi kolateral pada ekstremitas dan pada muka
ipsilateral
( sisi yang sama )
-
Gangguan rasa pengecapan dan penciuman
Data
obyektif:
-
Status mental ; koma biasanya menandai stadium perdarahan , gangguan tingkah
laku (seperti: letergi, apatis, menyerang) dan gangguan fungsi kognitif
-
Ekstremitas : kelemahan / paraliysis ( kontralateral pada semua jenis stroke,
genggaman tangan tidak imbang, berkurangnya reflek tendon dalam ( kontralateral
)
-
Wajah: paralisis / parese ( ipsilateral )
-
Afasia ( kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan ekspresif/
kesulitan berkata kata, reseptif / kesulitan berkata kata komprehensif, global
/ kombinasi dari keduanya.
-
Kehilangan kemampuan mengenal atau melihat, pendengaran, stimuli taktil
-
Apraksia : kehilangan kemampuan menggunakan motorik
-
Reaksi dan ukuran pupil : tidak sama dilatasi dan tak bereaksi pada sisi ipsi
lateral
7.
Nyeri / kenyamanan
Data
Subyektif:
-
Sakit kepala yang bervariasi intensitasnya
Data
obyektif:
-
Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan otot / fasial
8.
Respirasi
Data
Subyektif:
-
Perokok ( factor resiko )
Tanda:
-
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas
-
Timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur
-
Suara nafas terdengar ronchi /aspirasi
9.Keamanan
Data
obyektif:
-
Motorik/sensorik : masalah dengan penglihatan
-
Perubahan persepsi terhadap tubuh, kesulitan untuk melihat objek, hilang kewasadaan
terhadap bagian tubuh yang sakit
-
Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang pernah dikenali
-
Gangguan berespon terhadap panas, dan dingin/gangguan regulasi suhu tubuh
-
Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap keamanan, berkurang
kesadaran diri
10.
Interaksi social
Data
obyektif:
-
Problem berbicara, ketidakmampuan berkomunikasi
11.
Pengajaran / pembelajaran
Data
Subjektif :
-
Riwayat hipertensi keluarga, stroke
-
penggunaan kontrasepsi oral
12.
Pertimbangan rencana pulang
-
menentukan regimen medikasi / penanganan terapi
-
bantuan untuk transportasi, shoping , menyiapkan makanan , perawatan diri dan
pekerjaan rumah (Doenges E, Marilynn,2000 hal 292)
II.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kerusakan
mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan neuromuskular : kelemahan
2. Kurang
perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskular,penurunan kekuatan
dan ketahanan, kehilangan kontrol/koordinasi otot.
3. Gangguan
rasa nyaman nyeri berhubungan dengan vasospasme serebral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar